Kisah seekor burung

Kakek si Andi sedang menebang pohon-pohon pisang yang sudah tua di kebun.
“Kakek, mengapa setiap kali Kakek menebang pohon pisang yang telah tua, aku tidak pernah mendapatkan anak-anak burung yang berada dalam sarang di sela-sela sisir buah pisang.”

Kakek Andi menjawab,” Tentu saja Andi. Sebab, burung-burung pipit itu selalu
mendapat perlindungan Tuhan Yang Maha kuasa, berkat kesungguhan mereka dalam menunaikan ibadah kepada-Nya.”
Andi tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban kakeknya. Kemudian,
Ia berkata,” Ah, Kakek mengada-ada! Masa hewan bisa beribadah”
Kau tidak percaya, Nak?” kata kakek. “Pertama-tama coba dengar pada setiap pagi! sebelum matahari terbit, burung-burung pipit itu sudah bangun memuji kebesaran Tuhan sambil bernyanyi. Tidak lama kemudian, mereka harus pergi bekerja mencari nafkah ....“

Andi semakin terpingkal-pingkal ketawanya. Tetapi, Ia senang juga
mendengarkan cerita kakek.
“Jadi, yang kedua, setelah memuji nama Tuhan burung-burung itu
mencari nafkah?” kata Andi. Kakeknya pun melanjutkan bicaranya.
“Dalam mencari nafkah, burung-burung itu tidak mau memikirkan
dirinya sendiri saja. Setelah mendapat hasil, mereka segera terbang
kembali pulang ke sarang masing-masing. Untuk apa? Tidak lain untuk
menyuapi anak-anak mereka yang masih kecil.”
“Apakah itu termasuk ibadah, Kakek?” tanya Andi.
“Ya, tentu saja! Memberi nafkah keluarga adalah termasuk ibadah juga.”

“Yang ketiga ?“ tanya Andi.
“Yang ketiga, mereka selalu taat pada nasihat induknya. Misalnya, tidak boleh tergesa-gesa belajar terbang
sebelum sayapnya benar-benar kuat. Pada waktu belajar terbang, jangan terbang terlalu rendah agar selamat dan
segala macam bahaya.”
“Keempat?”
“Yang keempat, burung-burung pipit selalu suka beramal.”
“Amal macam apa yang mereka lakukan?”
“Macam-macam, sesuai dengan kemampuan mereka.
Misalnya, menunaikan tugas menarik zakat dan infaq
manusia yang lupa membayarnya.”
“Ah, Kakek! Mana bisa, Kek?” tukas Andi,

“Jangan membantah dulu! Dengarkanlah!” sambung kakek. “Kebanyakan manusia di dunia mi lupa men unaikan kewajiban membayar pajak kepada Tuhan yang berupa zakat dan infaq. itulah sebabnya burung-burung pipit membantu manusia untuk melunasi kewajibannya.”
“Bagaimana cara burung pipit menarik pajak?”
“Mudah saja! Mereka menyerbu sawah orang yang sudah menjelang panen. Mereka mengambil butir-butir gabah dan bulir-bulir padi di sawah. Menurut ketentuan Tuhan, manusia harus membayar zakat sebanyak 2,5 kg untuk
setiap anggota keluarga dan membayar infaq 2,5% dari setiap rezeki yang diberikan Tuhan kepada tiap manusia untuk kepentingan siar agama.”

“Sekarang yang kelima, apa lagi?”
“Yang kelima, mereka tidak boleh sombong.”
“Ada lagi Kakek ini! Masa burung bisa sombong?”“Ada!” tukas kakek. “Firman Tuhan menyatakan bahwa: “Janganlah kamu berjalan dengan congkak di atas bumi. Jika ada makhluk Tuhan yang congkak, berarti. melanggar perintah—Nya. Maka, Tuhan akan menghukum setiap makhluk yang melanggar larangan-Nya.”“Nah, jika kamu ingin tahu kisah burung yang sombong, dengarkan cerita kakek . . .

Kakek Andi mengajak duduk duduk sambil beristirahat,
kemudian mulai bercerita.
Diceritakannya bahwa pada zaman
dahulu kala ada seekor burung pipit
yang bernama si Tinggi Hati.
Si Tinggi Hati tidak menyadari bahwa ia
dilahirkan oleh induknya berupa sebutir telur. Demikian pula kakak-kakak dan adiknya yang semua berjumlah lima. Si Tinggi Hati tidak menyadari betapa kedua orang tuanya itu menderita sejak mengandung, melahirkan, mengerami hingga menyusui.
Tahunya hanyalah ia hidup dan ingin memenuhi nafsunya sendiri.

Induknya merasa prihatin dan sedih mengetahui tingkah laku anaknya yang satu ini. Tidak seperti anak anaknya yang lain, setiap pagi memuji kebesaran Tuhan, rajin mencari makan, selalu menurut nasihat orang tuanya, suka beramal dan tidak congkak. Si Tinggi Hati memang anak keterlaluan.
Pada setiap pagi sebelum matahari terbit, si Tinggi Hati marah-marah mendengar kelima saudaranya bernyanyi atau mengaji memuliakan asma Allah. Ia lebih suka tidur mendengkur hingga bangun kesiangan.

Di saat saudara-saudaranya terbang ikut rombongan untuk
mencari makan, si Tinggi Hati hanya tinggal diam di sarang.
Ia Iebih senang bermalas-malas sambil bersolek mengelus
sayap dan bulu-bulunya yang mulai tumbuh indah.
Pada waktu induknya datang, Ia pura-pura
menangis kelaparan dan minta makan.
Induknya memberi nasihat agar si Tinggi Hati
segera belajar terbang. Namun, si Tinggi Hati tidak mau
menurut nasihat orang tuanya itu. Bahkan, semua pelajaran
yang baik dan induknya tidak pernah digubris.

Si Tinggi Hati juga tidak suka beramal. Ia sangat kikir,
bahkan suka merebut makanan milik orang lain.
Setelah ia mulai terbang, ia suka menghina saudara
saudaranya dan teman-teman Iainnya.
“Akulah burung pipit yang paling cepat terbangnya!” kicau
si Tinggi Hati sambil mengepak-ngepakkan sayapnya.
“Anakku. . . .“ kata induknya dengan lemah lembut,
“seharusnya engkau bersyukur kepada Tuhan apabila
engkau diberi kepandaian terbang paling tinggi dan paling
cepat. Jangan sombong, Anakku.”

“Aku pandai terbang karena hash latihanku yang keras, ibu.” bantah si Tinggi Hati. “Badanku kuat dan bulu-buluku bagus berkat usahaku yang ulet, kerja keras, dan pandai mencari makan!”
“Tapi itu semua pemberian Tuhan . . ."
“Ah, Ibu!” potong si Tinggi Hati.
“Kiranya Ibu hanya berolok-olok padaku
agar aku ikut mengaji setiap pagi!”
Induk burung pipit semakin sedih mendengar jawaban anaknya yang selalu membantah nasihat orang tua itu. Semakin sedih induknya jika melihat bahwa si Tinggi Hati suka bersolek dan suka pamer kepada para tetangganya akan bulu-bulunya yang indah itu.

Pada suatu hari si Tinggi Hati berkicau mencela sepasang burung
pipit tetangganya yang sedang sibuk membuat sarang di sela
sisir-sisir pisang yang masih muda.
“Mengapa engkau membuat sarang di sela sisir-sisir buah pisang
yang masih muda? Buahnya kecil-kecil sehingga ruangannya sempit
dan pengap!” demikian cela si Tinggi Hati kepada tetangganya itu.
Dengan ramah tetangganya itu menjawab, “Aku hanya menurut
nasihat Ayah dan lbuku. Katanya, siapa yang menurut nasihat orang
tua akan hidup selamat, aman, dan tenteram.”

“Kau memang tolol!” kata si Tinggi Hati . “Semua tetangga di sini memang tolol semua! Mana mungkin rumah sempit dan pengap dapat membawa keselamatan, keamanan, dan ketenteraman?”“Biarlah!” kata tetangga itu. “Jika kamu tidak suka melihat kami, lebih baik pergi sajalah!”
“Lihat saja nanti!” sambung si Tinggi Hati. “Jika aku akan membuat rumah, tentu kupilih tempat yang nyaman. Akan kucari tandan pisang yang tua, buahnya besar-besar sehingga ruangan di sela sisir-sisirnya cukup luas. Tentu nyaman!”

Demikianlah, pada suatu baat si Tinggi Hati mulai berpasangan dan kemudian istrinya hendak bertelur, dicarinya tempat sesuai selera.
Berhari-hari, setiap waktu senggang setelah selesai mencari makan, ia terbang ke sana kemari bersama istrinya mencari tandan pisang tua yang besar-besar. “Anakku . . .“ kata induknya mengingatkan. “Menurut nasihat orang-orang tua sejak nenek moyang kita, jika hendak membuat sarang, jangan memilih tempat pada tandan pisang yang tua. Pilihlah tandan pisang yang masih muda, biär sempit asalkan aman.”

“Ah, Kuno!” bantah si Tinggi Hati. “Sebagal orang pandal,
pendapat semacam itu harus dirombak!”
“Anakku . . .. ,“ kata induknya lagi. “Setelah engkau
berumah tangga dan setelah istrimu bertelur kemudian
menetas, didiklah anak-anakmU kelak agar menjadi
makhluk yang saleh. Pertama-tama, ajarilah ia mengaji
untuk memuliakan nama Tuhan. Kedua. harus rajin
mencari makan. Ketiga, selalu menurut nasihat orang
tua. Keempat, suka beramal. Kemudian., yang kelima.
janganlah congkak.’

Setelah sarangnya jadi, si Tinggi Hati semakin sombong terhadap para tetangganya.
“Lihatlah !“ kata si Tinggi Hati kepada setiap tetangga yang berkunjung menjenguk anak-anaknya. “Lihat! Rumahku besar, indah, dan nyaman. Istriku cantik dan anak-anakku banyak! Semua itu berkat kepandaianku,
kekuatanku, keuletanku, dan kemampuanku.”
Seekor burung pipit sahabatnya mengingatkan . . . ,“ Hai
si Tinggi Hati ! Jangan sombong ! Semua yang ada
pada kita adalah pemberian Tuhan.”

“Lagi-lagi kamu itu menunjukkan ketololanmu.” kata si
Tinggi hati. “Kamu tidak berbeda dengan para tetangga
yang tolol itu! Maka dan itu hidupmu melarat
dan selalu kekurangan.”
“Oh, sahabatku. Sebenarnya kaya dan miskin itu terletak
pada nasib pemberian Tuhan. Kita sebagai makhluk
ciptaannya hanya wajib berusaha.
Hasil usaha, Tuhan yang menentukan.”
“Tidak,!” Bantah si Tinggi Hati. “Bagi saya, nasib itu
terletak dan hasil jerih payah kita sendiri.
Siapa yang pandai pasti akan kaya,
sedangkan yang tolol akan melarat.

“Aku tidak sependapat dengan kata-katamu itu, sahabatku.” kata
teman si Tinggi Hati. “Menurutku, meskipun pandai, jika Tuhan tidak
memberkati engkau pasti bernasib buruk dan jatuh miskin.
Sebaliknya, meskipun tolol, asalkan mendapat berkah Allah,
tentu bernasib baik dan bisa kaya.
“Kau ini menyebalkan sekali!” bentak si Tinggi Hati. “Daripada kita
berbantah, lebih baik pergilah kau dan sini!”
Mendengar kata-kata kasar semacam itu, teman si Tinggi Hati
segera terbang menjumpai teman-temannya. Ia kemudian
menceritakan kesombongan si Tinggi Hati yang keterlaluan itu.

Baru dua minggu berselang, pemilik pohon pisang tempat si Tinggi Hati bersarang itu datang membawa parang. “Mm. Pisangku yang mi sudah ada yang masak.” kata hati pemilik pohon pisang itu. “Kutebang saja pohon pisang mi, lumayan buat kenduri minggu depan.”
Si pemilik pohon pisang itu segera menebang batang pohon pisang tanpa memperdulikan jerit dan tangis anak si Tinggi Hati yang masih kecil-kecil itu.

‘itulah sebabnya maka sampai sekarang tidak ada burung pipit yang mau membuat sarang pada tandan pisang yang
sudah tua.” kata kakek Andi mengakhiri ceritanya. “Cerita Kakek memang baik.Meskipun khayal dan aku tidak percaya, namun aku akan memetik nasihat dalam cerita itu,” kata Andi sambil menggeliat, lalu berdiri. “Jadi, orang harus mengutamakan ibadah, rajin berusaha atau bekerja mencari nafkah, tidak boleh membantah nasihat orang tua, suka
beramal, dan tidak sombong. Begitu kan, Kek?”
“Nah, itu baru cucu kakek. Hehehehehe,

0 komentar:

Posting Komentar